Sebagaimana halnya akad-akad yang lain, akad nikah juga didasarkan pada keinginan dua belah pihak yang berakad untuk menerima isi akad dengan penuh kerelaan (ridha). Namun, karena keinginan dan kerelaan adalah perkara yang abstrak, tidak bisa diketahui oleh orang lain, maka pihak-pihak yang berakad harus mengungkapkan tanda penerimaan dan persetujuannya terhadap isi akad.
Redaksi kalimat (lafazh) yang digunakan untuk menyampaikan akad dan yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak terhadap isi akad disebut dengan ijab danqabul. Keduanya merupakan rukun akad menurut kesepakatan para ulama.[1]
Ijab adalah lafazh yang digunakan oleh pihak pertama untuk mengungkapkan keinginannya menjalin hubungan suami istri. Ijab ini menunjukkan bahwa telah menjadi tanggung jawab orang yang berakad untuk melaksanakan apa yang dia wajibkan atas dirinya lewat pernyataannya.
Qabul adalah lafazh yang digunakan oleh pihak kedua untuk mengungkapkan kerelaan dan persetujuannya dengan isi akad.
“Ijab dan qabul, yang dengannya pernikahan terlaksana, harus diungkapkan oleh orang-orang yang memang sah untuk melakukan akad nikah, yaitu pelamar dan yang dilamar, jika keduanya memenuhi syarat untuk melaksanakan akad nikah. Sebagaimana pula akad nikah sah jika disampaikan oleh wakil dari calon suami atau istri karena nikah mengakui perwakilan sebagaimana akad-akad lainnya.”[2]
Syarat-Syarat Pelaksanaan Akad Nikah
Pertama: Syarat Shighah Akad
1. Shighah Ijab Dan Qabul Disyaratkan Harus Berupa Lafazh-Lafazh Yang Menunjukkan Makna Pernikahan
Shighah ijab yang diucapkan seperti kalimat ankahtuka (aku nikahkan kamu),zawwajtuka (aku nikahkan kamu), mallaktuka (aku jadikan milikmu), bi‘tu (aku jual),wahhabtu (aku hibahkan), dan semisalnya, sesuai dengan kebiasaan atau qarinah(asumsi). Sighah tidak disyaratkan harus dengan lafazh al-inkah (ankaha dan turunannya) atau at-tazwij (zawwajtu dan turunannya) karena yang jadi patokan dalam akad adalah maksud dan maknanya, bukan lafazh dan susunan hurufnya. Ini adalah pendapat paling shahih di antara dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini, yaitu pendapat Abu Hanifah, Malik, dan salah satu pendapat dalam madzhab Ahmad, serta yang dipilih oleh Syaikh al-Islam.[1]
Pendapat ini didukung oleh hadits yang valid bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan berkata,
مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya aku nikahkan kamu dengannya (mallaktukaha) dengan mahar apa yang telah kamu hafal dari al-Qur’an.”[2]
Adapun menurut Syafi‘iyah dan Hanabilah, ijab dan qabul tidak sah kecuali dengan menggunakan lafazh turunan dari at-tazwij dan al-inkah karena lafazh-lafazh selain kedua lafazh itu tidak disebutkan di dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, wajib menggunakan dua lafazh itu saja sebagai ta‘abbud (ketaatan kepada Allah) sekaligus bentuk kehati-hatian, karena nikah dikategorikan sebagai ibadah dengan adanya anjuran untuk melakukannya, sementara zikir-zikir dalam ibadah harus diambil dari syariat.
Hukum Akad Nikah Dengan Selain Bahasa Arab
Jika kedua pihak yang berakad atau salah satunya tidak paham bahasa Arab, maka boleh melaksanakan akad nikah dengan selain bahasa Arab. Ini merupakan kesepakatan para ulama.
Namun, jika keduanya paham bahasa Arab dan mampu melaksanakan akad dengan bahasa tersebut, maka Syafi‘iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pada saat itu tidak boleh melaksanakan akad dengan selain bahasa Arab.
Pendapat yang benar adalah yang membolehkan. Syaikh al-Islam berkata, “Mengharuskan penggunaan bahasa Arab dalam akad nikah sangatlah jauh dari ushulImam Ahmad dan nash-nashnya, dan juga dari ushul dalil-dalil syariat. Sebab, nikah tetap sah baik dilakukan oleh seorang muslim maupun oleh orang kafir. Nikah, meskipun merupakan salah satu bentuk qurbah (pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala), namun ia sama seperti perbuatan memerdekakan budak dan bersedekah. Telah dimaklumi bahwa tidak ada lafazh tertentu yang ditetapkan untuk akad nikah, baik dengan bahasa Arab maupun non-Arab. Demikian pula halnya dengan sedekah, wakaf dan hibah, tidak ada lafazh arab tertentu yang ditetapkan untuknya menurut ijma’ ulama. Jika seorang non-Arab baru mempelajari bahasa Arab sekarang ini, dia tetap tidak akan memahami maksud dari lafazh tersebut sebagaimana dia memahaminya dari bahasa ibunya yang biasa dia pakai sehari-hari.
Kalau ada yang mengatakan bahwa makruh mengungkapkan akad-akad dengan selain bahasa Arab tanpa ada keperluan sebagaimana makruhnya mengungkapkan semua jenis khithab dengan selain bahasa Arab tanpa ada keperluan, maka itu lebih tepat. Telah diriwayatkan dari Malik, Ahmad dan asy-Syafi‘i pernyataan mereka yang menunjukkan kemakruhan membiasakan berkomunikasi dengan selain bahasa Arab tanpa ada keperluan.”[1]
Akad Nikah Dinyatakan Tidak Terlaksana Jika dengan Bahasa Isyarat, Kecuali Untuk Orang Bisu[2]
Berbeda dengan Malikiyah, jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang mampu berbicara tidak diakui isyaratnya dalam akad apapun. Dan mereka bersepakat bahwa isyarat orang bisu yang bisa dipahami diakui oleh syariat, sehingga nikah bisa terlaksana dengannya. Mereka berbeda pendapat dalam hal apakah dalam penggunaan isyarat disyaratkan ketidakmampuan menulis? Pendapat yang benar adalah yang menyatakan disyaratkan.
2. Shighah Disyaratkan Harus Menunjukkan Pengertian Selama-Lamanya Dan Seketika Itu Juga.
Jika menunjukkan pengertian sementara atau penundaan, maka akad nikah tidak sah. Ucapan “jika tiba awal bulan, maka aku menikahkanmu” tidak menjadikan akad nikah sah. Demikian pula halnya dengan ucapan “aku nikahkan kamu dengan putriku jika dia telah lulus ujian”. Hal itu karena ucapan itu digantung dengan syarat yang belum terwujudkan pada saat itu, maka akad nikah pun tidak sah.[3] Adapun jika ucapan itu dikaitkan dengan suatu perkara yang benar-benar sudah terjadi, maka sah akadnya.
3. Isi Qabul Harus Sesuai Dengan Isi Ijab Dari Segala Sisi.
Ini menjadi kesepakatan para ulama.[4] Jika isi qabul bertentangan dengan isi ijab dari satu sisi, maka nikah tidak sah. Jika wali nikah mengatakan, “Aku nikahkan kamu dengan anak perempuanku, Fathimah, dengan mahar sebesar sepuluh ribu dirham,” lalu mempelai pria mengatakan, “Aku terima nikahnya anak perempuanmu, Aisyah, dengan mahar lima ribu dirham,” maka tidak sah nikahnya.
4. Ketersambungan Ijab Qabul.
Ketersambungan ini terjadi dengan satunya majelis akad, artinya ijab dan qabul hendaknya berlangsung sekaligus di dalam satu majelis.
Namun, ini tidak berarti bahwa qabul disyaratkan harus terjadi langsung (fauriyah) setelah ijab karena jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah tidak mensyaratkan fauriyah tersebut. Maka adanya selang waktu antara ijab dan qabul tidaklah mengapa selama qabul tetap berlangsung dalam majelis yang sama dengan ijab.[5]
Catatan tambahan:
Pada masa dahulu, para ahli fiqih mensyaratkan “satu majelis” karena pada masa itu belum terbayangkan kemungkinan ketersambungan ijab dan qabul meski di tempat yang berbeda dan berjauhan. Adapun pada masa kita sekarang ini dengan kemajuan sarana telekomunikasi seperti telepon dan semisalnya, maka tidak ada lagi halangan untuk melaksanakan akad apapun meski di tempat yang berbeda jika faktor fauriyahbisa terwujud (atau: ketersambungan ijab dengan qabul menurut cara yang dijelaskan di atas), setiap pihak yang berakad bisa memastikan identitas pihak lain, dan aman dari penipuan.[1]
5. Pihak Yang Mengucapkan Ijab Tidak Boleh Menarik Pernyataan Ijabnya Itu Sebelum Ada Pernyataan Qabul Dari Pihak Lain.
Jumhur ulama, selain Malikiyah, berpendapat bahwa ijab tidak mengikat. Pihak yang mengucapkan ijab berhak untuk menarik kembali pernyataan ijabnya sebelum pihak lain mengucapkan pernyataan qabul, dan pada saat itu juga, akad tidak terlaksana. Oleh karena itu, pengucap ijab harus memegang pernyataan ijabnya hingga ada pernyataan qabul dari pihak lain.[2]
Demikian pula halnya, menurut jumhur ulama, akad tidak terlaksana jika salah satu dari dua pihak yang berakad meninggal dunia sesudah ijab diucapkan tetapi sebelum ada pernyataan qabul.[3]
Kedua: Syarat Wali Dan Mempelai Laki-Laki[4]
1. Kualifikasi Masing-Masing Pihak Untuk Menjalankan Akad.
Artinya, masing-masing pihak adalah orang yang balig --terlepas adanya perdebatan tentang anak kecil yangmumayyiz yang diberi izin oleh walinya untuk melaksanakan akad-- dan berakal sehat.
2. Kedua Belah Pihak Memiliki Hak Untuk Melaksanakan Akad
Hal ini bisa terpenuhi baik dengan dilaksanakannya akad tersebut oleh pihak mempelai laki-laki yang balig dan berakal sehat tadi untuk dirinya sendiri atau diwakilkan oleh orang yang dia tunjuk untuk mewakilinya melaksanakan akad, maupun dengan terwujudkannya kewalian (pada wali pihak perempuan) di mana syariat memberinya hak untuk melaksanakan akad. Adapun orang luar yang melaksanakan akad untuk orang lain tanpa izin dari orang tersebut, maka akadnya tidak sah.
3. Kedua Belah Pihak Melaksanakan Akad Dengan Kerelaan Dan Kesadaran Sendiri.
Jika akad dilaksanakan dengan tanpa kerelaan kedua belah pihak atau salah satunya, maka akadnya tidak sah.
4. Masing-Masing Pihak Bisa Mendengar Dan Memahami Perkataan Pihak Lain.
5. Baik Mempelai Laki-Laki Maupun Mempelai wanita, Sosoknya Haruslah Telah Jelas Dan Diketahui Bersama.
Seandainya wali perempuan mengatakan, “Aku nikahkan kamu dengan salah satu dari anak-anak perempuanku,” dan dia tidak menentukan orangnya, padahal dia memiliki lebih dari satu anak perempuan, maka akadnya tidak sah.
6. Tidak Memiliki Hubungan Yang Menyebabkan Keharaman
Hendaknya antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan tidak memiliki hubungan yang menyebabkan kemahraman. Hal ini telah dijelaskan dalam pembahasan mengenai perempuan-perempuan yang haram dinikahi.
Syarat Sahnya Akad Nikah
Yaitu hal-hal yang menentukan kesahan suatu akad nikah, dan memberikan pengaruh padanya, serta dapat membatalkan akad tersebut jika satu saja tidak terpenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
Syarat Pertama: Izin Dari Wali Mempelai Perempuan
Wali adalah orang yang mengurus akad nikah atas nama mempelai perempuan dan tidak membiarkannya lancang melaksanakan akad nikah tanpa dirinya.[1] Jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf, di antaranya: Umar, Ali, Ibnu Mas‘ud, Abu Hurairah dan Aisyah radhiallahu 'anhum, serta Malik, asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, ats-Tsauri, dan Ahlu azh-Zhahir,[2] semuanya berpendapat bahwa wali adalah salah satu syarat sah akad nikah. Jika seorang perempuan menikahkan sendiri dirinya (tanpa wali), maka nikahnya batil. Mereka berdalil dengan dalil-dalil berikut.
Nash-Nash Al-Qur’an Yang Menyerahkan Urusan Menikahkan Dan Melarang Menikah Kepada Laki-Laki.
1. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian.”[3]
Allah menyeru kaum laki-laki untuk menikahkan orang-orang yang belum menikah. Seandainya urusan menikahkan ini diserahkan kepada kaum perempuan, tentulah Allah Subhanahu wata’ala tidak mengarahkan seruan itu kepada kaum laki-laki.
2. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ
“Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman.”[4]
Dan firman-Nya:
وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ
“Dan janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.”[1]
3. Ucapan seorang bapak tua kepada Musa alaihi as-salam yang disebut di dalam al-Qur’an:
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ
“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini.”[2]
4. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ
“Apabila kalian mentalak istri-istri kalian, lalu habis masa iddah mereka, maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suami-suami mereka, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.”[3]
Allah Subhanahu wata’ala melarang para wali perempuan dari mencegah para janda menikah kembali dengan bekas suami-suami mereka. Dalam ayat ini, terdapat dalil paling gamblang yang menunjukkan betapa dipandangnya posisi wali. Jika tidak, tentulah tindakan pencegahan yang dilakukan para wali itu tidak punya arti apa-apa. Di samping itu, seandainya perempuan memiliki hak untuk menikahkan sendiri dirinya, tentulah dia tidak akan membutuhkan saudara laki-lakinya.[4]
5. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ
“karena itu, nikahilah mereka (budak-budak perempuan) dengan seizin tuan mereka.”[5]
Allah Subhanahu wata’ala mensyaratkan adanya izin dari wali budak perempuan untuk kesahan menikahinya. Ini menunjukkan bahwa akad yang dilakukan sendiri oleh si budak perempuan untuk dirinya tidaklah mencukupi.
6. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan).”[1]
Perwalian (al-wilayah) termasuk di antara bentuk kepemimpinan laki-laki yang dinyatakan di atas atas kaum perempuan.
7. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَمَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ
“dan apa yang dibacakan kepada kalian di dalam al-Qur’an tentang para perempuan yatim yang kalian tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kalian ingin menikahi mereka.”[2]
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Ini terkait dengan seorang anak perempuan yatim yang berada di bawah perwalian seorang laki-laki. Anak perempuan tersebut berbagi harta dengan laki-laki tersebut. Laki-laki itu lebih berhak atas diri perempuan itu (daripada orang lain), tetapi dia tidak mau menikahinya. Maka dia pun menghalangi anak perempuan tersebut menikah agar (tetap bisa menguasai) hartanya, dan tidak pula menikahkannya dengan orang lain karena tidak suka berbagi dengan siapa pun dalam menguasai bagian harta anak perempuan itu.”[3]
8. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata tentang sifat pernikahan di zaman jahiliah, “Pernikahan pada zaman itu di antaranya: pernikahan sebagaimana dikenal manusia pada zaman ini di mana seorang laki-laki datang kepada laki-laki lain untuk meminang perempuan yang di bawah tanggung jawabnya atau anak perempuannya, kemudian memberinya mahar lalu menikahinya ...”[4]
Dalil-Dalil Yang Lebih Rinci Dari Dalil Diatas Adalah Sebagai Berikut.
1. Hadits Abu Musa radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada (sah) pernikahan kecuali dengan wali.”[5]
2. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ –ثَلَاثًا– وَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا، فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya adalah batal --beliau mengucapkannya tiga kali-- dan dia berhak mendapat mahar (dari suaminya) atas persetubuhan dengannya. Kemudian apabila mereka berselisih, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”[1]
Kedua hadits di atas sangat jelas menunjukkan keberadaan wali sebagai syarat.
3. Pemahaman seperti ini juga valid dari Umar bin al-Khaththab, Ali bin Abu Thalib, dan Ibnu Abbas rdahum.[2]
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri karena sesungguhnya perempuan pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri.”[3]
Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menukil di dalam Fath al-Bari (IX/178 - terbitan Dar al-Ma‘rifah) pernyataan dari Ibnu al-Mundzir bahwa tidak seorang pun dari sahabat yang diketahui mengemukakan pendapat yang berbeda tentang masalah ini.
Sedangkan Abu Hanifah Berpendapat Bahwa Untuk Kesahan Akad Nikah Perempuan Yang Merdeka, Balig Lagi Berakal Sehat, Keberadaan Wali Tidaklah Disyaratkan.
Keberadaan wali hanya disyaratkan pada saat menikahkan perempuan yang masih kecil![4] Beliau berargumen sebagai berikut.
1. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ ۗ
“Maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran menurut yang patut.”[5]
2. Firman Allah Subhanahu wata'ala :
حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“hingga dia menikah dengan suami yang lain.”[6]
Mereka berkata, “Di sini, Allah menyandarkan perbuatan menikah kepada perempuan. Ini menunjukkan bolehnya perempuan menikah dengan pertimbangan mereka sendiri tanpa diikat syarat keberadaan wali.”
3. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
“Apabila kalian mentalak istri-istri kalian, lalu habis masa iddah mereka, maka janganlah kalian menghalangi mereka menikah lagi dengan (bakal) suami-suami mereka.”[1]
Mereka berkata, “Pendalilan dengan ayat ini dari dua sisi.
a. Bahwa Allah Subhanahu wata’ala menyandarkan perbuatan menikah kepada perempuan.
b. Bahwa larangan menghalangi para janda dari menikah lagi yang disebutkan di dalam ayat ini ada kemungkinan ditujukan kepada para bekas suami. Dengan begitu, ayat ini melarang mereka dari menghalangi bekas-bekas istri mereka yang telah tertalak --setelah selesainya masa ‘iddah-- dari menikah dengan suami-suami baru yang diinginkan.”
Penulis berkata: Telah disebutkan sebelum ini sebab turunnya ayat tersebut, dan isinya membantah penakwilan di atas.
4. Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan anak gadis harus dimintai izin darinya, dan izinnya adalah diamnya.”[2]
Penulis berkata: Menggunakan hadits ini sebagai dalil tidak disyaratkannya wali tidaklah sesuai karena dua alasan berikut.
a. Paling jauh hadits ini hanya menunjukkan bahwa wali memiliki hak untuk menikahkan janda dan janda pun memiliki hak untuk menikahkan dirinya sendiri, dan haknya itu lebih kuat daripada hak wali. Wali tidak boleh menikahkan janda tanpa berkonsultasi dengannya dan tanpa persetujuan darinya. Adapun perawan, maka hak wali lebih besar daripada hak si perawan. Karena itulah, cukup dengan diamnya.”[3]
Ini semua berlaku dalam kondisi pemaksaan. Seorang wali tidak boleh memaksa seorang janda untuk menikahi orang yang tidak disukainya.
b. Seandainya pengertian hadits di atas adalah seperti yang mereka inginkan, tentulah akan mengharuskan keutamaan menikah tanpa wali. Itu jelas menyelisihi pandangan Hanafiyah tentang dianjurkannya keberadaan wali.
Dengan begitu, pendapat yang benar yang tidak boleh menyelisihinya adalah yang menyatakan bahwa wali adalah salah satu syarat bagi sahnya pernikahan sebagaimana yang menjadi madzhab jumhur ulama. Wallahu a‘lam. Bersambung, in syaa Alloh
Footnote:
[2] Ahkam az-Zawaj karya al-Asyqar (halaman 80).
[1] Ibnu ‘Abidin (II/268), al-Mawahib (III/419), Mughni al-Muhtaj (III/140), al-Mughni (VI/532), danMajmu‘ al-Fatawa (XXIX/12).
[2] Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari dengan lafazh ini.
[1] Majmu‘ Fatawa Syaikh al-Islam (XXIX/12).
[2] Al-Fawakih ad-Dawani (II/57) dan Mughni al-Muhtaj (II/17).
[3] Lihat: al-Asybah wa an-Nazhair karya asy-Suyuthi (halaman 282) dan Ahkam az-Zawaj (halaman 81).
[4] Al-Badai‘ (V/136), Mughni al-Muhtaj (II/6), dan Kasyf al-Qana‘ (III/146).
[5] Al-Badai‘ (V/137), Mawahib al-Jalil (IV/241), dan Kasyf al-Qana‘ (III/147).
[1] Ahkam az-Zawaj (halaman 83) dengan sedikit pengubahan.
[2] Al-Badai‘ (V/138), Mughni al-Muhtaj (II/6), asy-Syarh al-Kabir (IV/4 beserta al-Mughni), danMawahib al-Jalil (IV/240).
[3] Ibnu ‘Abidin (IV/20), Mughni al-Muhtaj (II/6), dan al-Mughni (IV/9 beserta asy-Syarh).
[4] Ahkam az-Zawaj karya al-Asyqar (halaman 90) dengan beberapa pengubahan.
[1] Lisan al-‘Arab (III/985).
[2] Al-Mudawwanah (II/151), Bidayah al-Mujtahid (2), al-Umm (V/166), al-Mughni (VI/448), al-Muhalla (IX/453), al-Inshaf (VIII/660), dan Majmu‘ al-Fatawa (XXXII/19).
[3] Surat an-Nur:32.
[4] Surat al-Baqarah:221.
[1] Surat al-Baqarah:221.
[2] Surat al-Qashash:27.
[3] Surat al-Baqarah:232.
[4] Sebab turunnya ayat ini disebutkan dalam suatu hadits riwayat al-Bukhari (5130) dan selainnya dari Ma ‘qil bin Yasar, dia berkata, “Aku menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki lalu dia mentalaknya. Kemudian ketika masa ‘iddahnya akan berakhir, laki-laki itu datang untuk melamarnya kembali. Maka, aku pun berkata kepadanya, Aku dahulu telah menikahkanmu dengannya dan memuliakanmu, lalu kamu mentalaknya. Kemudian sekarang kamu datang lagi melamarnya. Tidak, demi Allah, dia tidak akan kembali kepadamu selama-lamanya. Sebenarnya, dia laki-laki yang baik dan adikku pun mau rujuk dengannya, maka Allah Subhanahu wata’ala menurunkan ayat ini: “maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka menikah lagi”. Karena itu, aku berkata, ‘Sekarang, akan aku lakukan, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ma‘qil kemudian berkata, “Maka, aku pun menikahkan kembali dia dengan adikku.”
[5] Surat an-Nisa’:25.
[1] Surat an-Nisa’:34.
[2] Surat an-Nisa’:127.
[3] Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5128).
[4] Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5127).
[5] Shahih. Hadits Riwayat: Abu Daud (2085), at-Tirmidzi (1101), Ibnu Majah (1879), Ahmad (IV/394), dan selain mereka. Lihat: al-Irwa’ (VI/243).
[1] Shahih. Hadits Riwayat: Abu Daud (2083), at-Tirmidzi (1101), Ibnu Majah (1879), dan Ahmad (VI/156).
[2] Lihat: Jami‘ Ahkam an-Nisa’ karya syaikh kami hafizhahullahu (III/327-328).
[3] Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: Abdurrazzaq (VI/200) dan Ibnu Abi Syaibah (IV/135).
[4] Ibnu ‘Abidin (III/55), al-Mabsuth (V/10), Fath al-Qadir (III/157), dan al-Badai‘ (II/248).
[5] Surat al-Baqarah:233.
[6] Surat al-Baqarah:230.
[1] Surat al-Baqarah:232.
[2] Shahih. Hadits Riwayat: Muslim.
[3] Ahkam az-Zawaj karya al-Asyqar (halaman 138).
No comments:
Post a Comment