Hukum Perceraian Dalam Pandangan Islam


Berdasarkan informasi yang di sampaikan pihak kemenag melalui laman republika online bahwa tingkat perceraian di Indonesia tahun 2016 mencapai 350 ribu kasus, grafiknya dari tahun ke tahun terus meningkat. Selain itu faktor pemicu perceraian juga cukup beragam. Sungguh kondisi ini sangat memprihatinkan melihat mayoritas pasangan yang melakukan perceraian adalah pasangan muda dan notabene beragama islam. Lalu bagaimana hukum perceraian dalam pandangan islam?

Definisi Cerai (talak)


Kata ath-thalaq (talak) secara etimologi berarti melepas belenggu dan mengurai ikatan. Kata ini merupakan bentuk turunan dari kata al-ithlaq yang berarti melepas dan membiarkan.

Sedangkan secara terminologi syariat, ath-thalaq adalah melepas ikatan pernikahan dengan lafazh talak (cerai) dan semisalnya, atau memutus ikatan pernikahan seketika itu juga (yaitu dengan talak bain) atau pada waktu mendatang (yaitu setelah lepas masa iddah dengantalak raj‘i) dengan menggunakan lafazh tertentu.

Pernikahan yang dimaksud di sini adalah khusus pernikahan yang sah. Adapun pernikahan yang fasid, maka talak tidak sah padanya karena yang ada adalah mutarakah atau fasakh.

Fasakh berbeda dari talak. Fasakh adalah batalnya akad dan menghapus pengaruh-pengaruh dan hukum-hukum yang diakibatkannya, sedangkan talak tidak membatalkan akad, tetapi hanya mengakhiri pengaruh-pengaruhnya.

Mutarakah adalah tindakan pihak laki-laki meninggalkan perempuan yang telah dia ikat dengan akad yang fasid, baik dia meninggalkannya sebelum berhubungan badan dengannya ataupun sesudahnya. Jadi, mutarakah serupa dengan talak dalam hal hak mengakhiri pengaruh-pengaruh pernikahan, dan bahwa ia adalah hak suami saja. Di sisi yang lain,mutarakah berbeda dari talak dalam hal bahwa ia tidak dihitung sekali dan bahwa ia khusus berlaku pada akad yang fasid dan persetubuhan yang terjadi karena syubhat, sedangkan talak hanya khusus berlaku pada akad yang sah.

Dasar Hukum Talak


Talak ditetapkan sebagai syariat berdasarkan Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ijma’, dan logika.

A. Dari al-Qur’an


1. Firman Allah Subhanahu wata’ala:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”[2]

2. Firman Allah Subhanahu wata’ala:

لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ (236) وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

“Tidak ada kewajiban atas kalian membayar (mahar) jika kalian mentalak istri-istri kalian sebelum kalian bersebadan dengan mereka dan sebelum kalian menentukan mahar untuk mereka. Dan hendaklah kalian berikan suatu mut‘ah (pemberian) kepada mereka di mana orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Cara yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Jika kalian mentalak istri-istri kalian sebelum kalian bersebadan dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan mahar untuk mereka, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kalian tentukan itu.”[1]

3. Firman Allah Subhanahu wata’ala:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ

“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddah mereka (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu.”[2]

4. Allah azza wa jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian mentalak mereka sebelum kalian bersebadan dengannya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya.”[3]

5. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ

“Apabila kalian mentalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula).”[4]

B. Dari as-Sunnah


1. Dari Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjatuhkan talak kepada Hafshah radhiallahu ‘anha lalu merujuknya kembali.[5]

2. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Aku pernah mempunyai istri yang sangat aku cintai. Sayangnya, Umar tidak menyukainya. Dia berkata kepadaku, ‘Ceraikan dia.’ Namun, aku menolak melakukannya. Umar kemudian menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menceritakan hal itu kepada beliau. Akhirnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku,

طَلِّقْهَا

“Ceraikan dia.”[1]

3. Dari ‘Ashim bin Laqith bin Shabrah dari ayahnya dari kakeknya (yaitu Shabrah) --seorang utusan Bani Muntafiq kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-- bahwa dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki seorang istri.” --Kemudian dia menyebutkan sifat istrinya yang panjang lidah (buruk tutur katanya).-- Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَلِّقْهَا

“Ceraikan dia.”

Shabrah berkata, “Wahai Rasulullah, dia telah menjadi teman hidupku dan telah memberiku anak.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَأَمْسِكْهَا وَأْمُرْهَا، فَإِنْ يَكُ فِيهَا خَيْرٌ فَسَتَفْعَلْ وَلَا تَضْرِبْ ظَعِينَتَكَ ضَرْبَكَ أَمَتَكَ

“Kalau begitu, pertahankan dia. Dan nasihati dia karena jika memang ada kebaikan pada dirinya, pastilah dia akan menerimanya. Dan jangan kamu pukul istrimu itu seperti kamu memukul budak perempuanmu.”[2]

C. Dari ijma’ dan Logika


Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Manusia telah berijma’ tentang bolehnya talak. Logika yang sehat pun menunjukkan bolehnya talak. Sebab, kerusakan bisa saja menimpa hubungan suami istri sehingga mempertahankan pernikahan justru akan menyebabkan dampak yang sangat buruk (bagi kedua pihak), dengan mengharuskan suami untuk tetap menanggung nafkah dan tempat tinggal, dan menahan istri untuk tinggal di rumah di tengah-tengah hubungan yang tidak harmonis dan pertengkaran yang terus menerus tanpa guna. Maka, keadaan itu mengharuskan adanya syariat yang dapat memutus ikatan pernikahan seperti itu sehingga hilang mafsadat yang ditimbulkannya.”[3]

Hukum Taklifi Talak


Setelah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berijma’ bahwa talak disyariatkan, para ulama kemudian berbeda pendapat mengenai hukum taklifi talak.[4]

Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum asal talak adalah mubah, tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya --karena talak mengandung unsur pemutusan ikatan kasih sayang-- kecuali jika ada faktor pemicunya. Hanya saja, dalam beberapa kondisi, hukum asal ini bisa berubah.

Ulama yang lain berpendapat bahwa hukum asalnya adalah terlarang (al-hazhr), namun dalam beberapa kondisi hukumnya bisa berubah. Landasan pendapat mereka adalah hadits:

أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

“Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian.”[1]

Akan tetapi, hadits ini dha‘if.

Bagaimana pun juga, pada akhirnya, para ahli fiqih sepakat bahwa talak diliputi oleh kelima hukum taklifi sesuai dengan kondisi-kondisi yang melingkupinya.

1. Haram, misalnya: mentalak istri yang sedang haid, atau mentalaknya saat suci setelah bersetubuh dengannya, yang dikenal dengan istilah talak bid‘ah sebagaimana akan dijelaskan nanti. Ini telah disepakati keharamannya. Demikian pula haram mentalak istri jika suami khawatir dirinya akan terjatuh ke dalam perzinaan sebagai akibatnya.

2. Makruh, yaitu saat tidak ada alasan untuk melakukannya, sementara hubungan antara suami dan istri baik-baik saja. Boleh jadi yang seperti ini menjadi haram menurut sebagian ulama.

Penulis berkata: Dalil yang sering digunakan untuk menunjukkan keharaman atau kemakruhan talak adalah hadits Jabir radhiallahu ‘anhu di mana dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا، فَيَقُولُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا، قَالَ: ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ، قَالَ: فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air lalu mengirim bala tentaranya (ke segala penjuru). Tentara Iblis yang punya kedudukan paling dekat dengan Iblis adalah yang mampu menimbulkan fitnah paling besar. Salah satu di antara mereka datang lalu berkata, ‘Aku telah melakukan ini dan itu.’ Iblis berkata, ‘Kau belum melakukan apa-apa.’ Lalu yang lain datang dan berkata, ‘Tidaklah aku meninggalkan si fulan melainkah aku telah berhasil memisahkan dirinya dari istrinya.’ Iblis pun mendekatkan dia kepadanya lalu berkata, ‘Kau adalah sebaik-baik tentaraku.”[2]

Begitu juga, hadits dari ‘Amru bin Dinar, dia berkata, “Umar radhiallahu ‘anhu pernah mentalak salah seorang istrinya, lalu sang istri berkata, ‘Apakah ada sesuatu dari diriku yang tidak kamu sukai?’ Umar menjawab, ‘Tidak ada.’ Istrinya berkata, ‘Lalu apa alasanmu menceraikan istri yang selalu menjaga dirinya lagi muslim?” ‘Amru kemudian berkata, “Maka Umar merujukinya kembali.”[3]

3. Mubah, yaitu saat ada kebutuhan untuk melakukannya karena akhlak istri yang jelek, sikapnya yang buruk dalam mempergauli suami, serta suami merasa hanya mendapat mudharat darinya sedangkan tujuan yang diinginkan dengan menikahinya tidak tercapai.

4. Mustahab, yaitu jika istri telah mengabaikan hak-hak Allah Subhanahu wata’ala yang menjadi kewajibannya, seperti shalat dan semisalnya, sementara suami tidak kuasa memaksa istri melaksanakan kewajiban tersebut, atau istri bukanlah perempuan yang menjaga kehormatan dirinya. Disunnahkan talak dalam kondisi ini karena jika suami tetap mempertahankan istrinya, maka hal itu justru akan merusak keteguhannya dalam agama, serta kehormatan keluarganya tidak akan aman dari kemungkinan dirusak oleh istri dengan perselingkuhan dan menisbatkan kepadanya anak yang bukan anaknya. Maka dalam kondisi seperti itu, tidak mengapa suami menekan dan membatasi ruang gerak istrinya agar dia mau menebus dirinya (dengankhulu’). Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ

“Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.”[1]

Terkadang dalam kondisi ini talak menjadi wajib.

5. Wajib, misalnya bagi suami yang melakukan ila’ --akan datang nanti penjelasan hukum-hukum ila’-- jika suami tersebut menolak kembali ke istrinya setelah melewati masa menunggu (tarabbush) menurut pendapat jumhur. Atau talak yang dijatuhkan oleh dua juru damai (hakim), yang ditunjuk oleh pasangan suami istri ketika terjadi keretakan hubungan di antara mereka, jika keduanya merasa tidak mampu lagi mendamaikan suami istri tersebut dan berpendapat bahwa talak adalah jalan yang terbaik.

Hak Talak di Tangan Suami


Allah Subhanahu wata’ala memberi hak menceraikan istri kepada suami jika suami memang memiliki alasan-alasan yang kuat untuk melakukan hal itu dengan pertimbangan dan keinginannya sendiri.[2] “Allah tidak menjadikan hak talak berada di tangan istri sekalipun istri bersekutu dengan suami dalam akad pernikahan. Hal itu demi menjaga kelanggengan pernikahan dan mempertimbangkan risiko-risiko pemutusan ikatan pernikahan dengan cara yang cepat dan terburu-buru. Laki-laki biasanya lebih banyak pertimbangan dalam menyikapi masalah-masalah yang dihadapinya dan lebih kecil kemungkinannya bertindak ceroboh. Sebaliknya, perempuan biasanya lebih sering terpengaruh dengan perasaannya sehingga bisa jadi jika hak talak diberikan kepadanya, dia akan menjatuhkan talak hanya karena alasan-alasan yang sepele.

Selain itu, talak memerlukan biaya-biaya yang akan membuat suami bersikap penuh pertimbangan dalam menjatuhkan talak. Sebaliknya, perempuan tidak dirugikan secara finansial dengan jatuhnya talak. Karena itu, dia tidak akan berpikir jauh dalam menjatuhkan talak (jika hak talak ada di tangannya) karena cepat dikuasai oleh perasaan dan emosi.”[1]

Terkadang selain suami bisa juga menjatuhkan talak, baik dengan bertindak sebagai pengganti suami, seperti dalam perwakilan dan kuasa hukum,[2] atau bukan sebagai pengganti suami, seperti hakim dalam beberapa keadaan yang darurat. Wallohu a'lam.

Demikian penjelasan seputar hukum perceraian dalam pandangan islam. Semoga bermanfaat. Aamiin


Footnote:
[1] Al-Misbah al-Munir, Ibnu ‘Abidin (III/226), Mughni al-Muhtaj (III/279), dan al-Mughni (VII/297).
[2] Surat al-Baqarah:229.
[3] Surat al-Baqarah:236-237.
[4] Surat ath-Thalaq:1.
[5] Surat al-Ahzab:49.
[6] Surat al-Baqarah:231.
[7] Shahih. Hadits Riwayat: Abu Dawud (2283), an-Nasa’i (VI/213), Ibnu Majah (2016), dan selain mereka.
[8] Shahih. Hadits Riwayat: Abu Dawud (5138), at-Tirmidzi (1189), dan Ibnu Majah (2088).
[9] Shahih. Hadits Riwayat: Abu Dawud (142) dn Ahmad (IV/33).
[10] Al-Mughni (VII/96). Lihat: al-Ifshah karya Ibnu Habirah (II/147).
[11] Ibnu ‘Abidin (III/227), Fath al-Qadir (III/21), ad-Dasuqi (II/361), al-Mughni (VII/97), Kasyf al-Qana‘(V/261), Mughni al-Muhtaj (III/279).
[12] Dha‘if. Hadits Riwayat: Abu Dawud (2177-2178), al-Baihaqi (VII/322), Ibnu Abi Syaibah (V/253), dan selain mereka. Statusnya yang tepat adalah mursal. Lihat: al-‘Ilal karya Ibnu Abi Hatim (I/431), at-Talkhish (III/205), dan al-‘Ilal al-Mutanahiyah (II/638).
[13] Shahih. Hadits Riwayat: Muslim.
[14] Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: Sa‘id bin Manshur dalam sunannya (1099).
[15] Surat an-Nisa’:19.
[16] Hal itu karena pihak yang diseru (al-mukhathab) untuk mentalak dalam ayat-ayat dan hadits-hadits di atas adalah para suami dan bukan para istri. Untuk menguatkan hal itu pula, para ulama berdalil dengan suatu riwayat marfu‘ yang berbunyi: “Sesungguhnya hak menjatuhkan talak itu milik orang yang memiliki hak memegang betis perempuan (yaitu suami).” Hanya saja, hadits ini dha‘if dan Hadits Riwayat: Ibnu Majah (2081) dan al-Baihaqi (VII/360) dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.
[17] Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (VII/360) dengan sedikit perubahan.
[18] Akan dijelaskan nanti tentang pewakilan dan kuasa hukum dalam masalah talak ini.

No comments:

Post a Comment